McKinsey & Company merilis laporan terbarunya mengenai otomasi dan masa depan pekerjaan di Indonesia. Laporan tersebut menyajikan hasil kajian tentang pekerjaan yang bakal hilang, muncul, dan berubah di masa depan.

Hasilnya, sebanyak 23 juta lapangan pekerjaan di Indonesia dalam kurun waktu sekitar 10 tahun mendatang diproyeksi hilang digantikan proses otomasi. Jumlah yang tak sedikit dalam waktu yang relatif singkat.

Meningkatnya adopsi otomatisasi dan kecerdasan buatan diproyeksi mengubah dunia pekerjaan di masa depan. Sumber daya manusia (SDM) yang menjadi calon angkatan kerja maupun yang berpengalaman diharapkan bisa mengantisipasi hal ini.

McKinsey sendiri memperkirakan hilangnya jutaan lapangan kerja yang digantikan mesin tersebut diganti oleh lapangan pekerjaan yang lebih banyak dengan jenis yang berbeda. Pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait diharapkan mampu mengantisipasi hal ini sekaligus menangkap peluang tersebut.

Lalu, seperti apa isi laporan tentang pekerjaan yang bakal hilang, muncul, dan berubah di masa depan tersebut? Simak informasi yang dirangkum berikut:
Managing Partner Indonesia and President-Director, McKinsey Indonesia Phillia Wibowo mengatakan meningkatnya adopsi otomatisasi dan kecerdasan buatan akan mengubah dunia pekerjaan, termasuk di Indonesia. Namun besarnya peluang ekonomi Indonesia untuk tumbuh di masa depan diproyeksi juga akan menciptakan 27 hingga 46 juta pekerjaan baru pada tahun 2030.

"Secara global, McKinsey memperkirakan bahwa 60% dari semua pekerjaan, memiliki sekitar 30% aktivitas pekerjaan yang dapat diotomatisasi," kata Phillia dalam paparannya di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (25/9).

Laporan ini memberikan pandangan mengenai potensi dari dampak otomasi terhadap perekonomian Indonesia, dengan didasarkan pada penelitian terobosan yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute. Penelitian tersebut menganalisis efek otomasi terhadap 2.000 kegiatan kerja pada 800 pekerjaan berdasarkan teknologi yang sudah ada dan sudah didemonstrasikan serta tren global yang dapat mendorong permintaan tenaga kerja selama dekade berikutnya

Secara keseluruhan tipe pekerjaan akan bergeser ke arah layanan dan menjauh dari pekerjaan dengan potensi otomasi yang tinggi. Seperti pemrosesan data dan pekerjaan fisik yang dapat diprediksi.

Meski ada 23 juta lapangan pekerjaan yang diproyeksi hilang pada masa depan, namun jumlah lapangan kerja baru yang tercipta juga akan lebih banyak.

"Ada 23 juta pekerjaan yang dapat digantikan oleh proses otomasi di masa depan. Tapi Indonesia akan punya pekerjaan yang lebih banyak diciptakan pada 2030 dibanding pekerjaan yang hilang karena otomasi," ujar Phillia.

Associate Partner McKinsey & Company Southeast Asia, Vivek Lath mengatakan jenis pekerjaan yang bakal digantikan proses otomasi tersebut adalah yang sifatnya harus diulang-ulang atau repetisi. Misalnya data entry, payroll officers, production workers, hingga machine operator.

"Seperti aktivitas data collection, itu adalah bagian dari jenis pekerjaan yang bisa diotomasi dari 23 juta lapangan kerja tadi," katanya.

Dari laporan tersebut, tipe pekerjaan akan bergeser ke arah layanan dan menjauh dari pekerjaan dengan potensi otomasi yang tinggi, seperti pemrosesan data dan pekerjaan fisik yang dapat diprediksi. Beberapa jenis pekerjaan yang rentan digantikan otomasi di antaranya pemrosesan data atau data entry, petugas payroll, transaction processors, hingga operator mesin.

Di lain hal, penelitian ini menemukan, otomasi berpotensi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan PDB. Otomasi dianggap dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi pekerja Indonesia dan menciptakan peluang pasar bagi perusahaan Indonesia.

Teknologi akan membawa manfaat yang signifikan bagi perekonomian Indonesia, termasuk peningkatan produktivitas, pertumbuhan, pendapatan, dan lapangan kerja. Namun, semua pemangku kepentingan di Indonesia diharapkan bisa meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk mewujudkan potensi tersebut.

"Indonesia perlu fokus meningkatkan pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk mengajarkan keterampilan, memberikan keterampilan baru dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk era kerja yang baru," kata Managing Partner Indonesia and President-Director, McKinsey Indonesia Phillia Wibowo dalam kesempatan yang sama.

Managing Partner Indonesia and President-Director, McKinsey Indonesia Phillia Wibowo mengatakan dengan pergeseran ke ekonomi digital, dibutuhkan keterampilan baru untuk pencari kerja yang baru pertama kali mencari kerja maupun yang sudah berpengalaman.

Dia bilang keterampilan teknologi akan lebih diminati. Tetapi akan ada juga peningkatan kebutuhan atas keterampilan sosial dan emosional, serta keterampilan kognitif yang lebih tinggi.

"Seperti kreativitas dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Hal ini menjadi prioritas penting untuk ditangani oleh sistem pendidikan di Indonesia," katanya.

Lanjutnya, masyarakat Indonesia yang telah mengenyam pendidikan menengah mungkin akan menghadapi perubahan terbesar dalam dunia pekerjaan di tahun 2030. Namun secara persentase, peluang terbesar akan diperoleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi atau pendidikan lanjut. Hal ini memunculkan tantangan penting bagi sektor pendidikan di Indonesia.

"Tingkat kesiapannya perlu diperhatikan bersama. Tidak hanya dari institusi pendidikan, tapi juga bisa dari korporasi. Ada yang namanya meta skills, mindset bahwa life long learning. Jangan sampai karena sudah lulus sekolah kemudian berhenti belajar," katanya.

"Lalu ada soft skill problem solving. Di manapun institusinya harus mendidik ke arah problem solving. Dan semua stakeholder berperan untuk memikirkan ini," tambah dia.

Semua pemangku kepentingan termasuk pembuat kebijakan, institusi akademik, LSM, dan pelaku bisnis diharapkan bersiap menghadapi perubahan substansial dalam dunia kerja di masa mendatang. Setiap perusahaan harus mulai mempersiapkan rencana dan transisi ke masa depan melalui program pembelajaran jangka panjang, baik bagi orang-orang yang terdampak saat ini maupun mereka yang mungkin baru akan terdampak di masa depan.

"Memang peran pemerintah penting untuk berikan insentif untuk re-scallingnya. Re-scallingnya ke arah mana, mungkin berbeda tiap-tiap negara tergantung industrinya. Yang penting berdialog dengan employer-nya to make sure bahwa programnya tepat sasaran," kata Phillia.